PELANGGARAN ETIKA PROFESI AKUNTANSI PADA KASUS UPS APBD JAKARTA 2015
Nama : Sarwo Wicaksono
Kelas : 4EB14
NPM : 26212863
JAKARTA, KOMPAS.com — Adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) bahwa pengadaan alat uninterruptible
power supply (UPS) tahun 2014 tidak
melalui pembahasan dan tidak sesuai dengan kebutuhan dianggap bisa jadi
petunjuk dalam kelanjutan penyidikan kasus tersebut.
Koordinator Investigasi
Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri mengatakan, hal ini bisa jadi
petunjuk bagi polisi untuk menetapkan tersangka baru. Sebab, dalam temuan
tersebut, dinyatakan secara jelas pengadaan UPS merupakan hasil rapat internal
Komisi E DPRD dan hanya ditandatangani pimpinan Komisi E.
"Seharusnya, temuan itu bisa jadi petunjuk bagi Bareskrim untuk menjerat pimpinan Komisi E DPRD DKI periode saat itu. Di temuan itu kan sudah dinyatakan tanda tangannya dari mereka," kata Febri kepada Kompas.com, Selasa (18/8/2015).
Febri menyayangkan apabila temuan tersebut tidak dijadikan pertimbangan bagi Bareskrim. Bila demikian, Febri menilai asumsi yang menyatakan polisi tak bertaring dalam penanganan kasus korupsi makin benar adanya.
Secara khusus, ia mengkritik penanganan kasus tersebut yang belum ada perkembangan signifikan. "Sekarang ini saja penyidikan yang dilakukan oleh Bareskrim menimbulkan tanda tanya, kok tidak ada perkembangan. Masa tersangkanya cuma dari eksekutif saja. Buwas (Kepala Bareskrim Komjen Budi Waseso) itu harus berani tegas sama koruptor, jangan beraninya cuma sama aktivis antikorupsi," ujar Febri.
Berdasarkan draf laporan hasil pemeriksaan (LHP) terhadap laporan keuangan Provinsi DKI Jakarta tahun 2014, BPK menyatakan pengadaan UPS tidak tercantum dalam rencana kerja dan anggaran (RKA) eksekutif, baik di BPAD maupun di masing-masing suku dinas, Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Barat dan Jakarta Pusat.
"Penambahan kegiatan pengadaan UPS pada anggaran BPAD dan anggaran masing-masing suku dinas hanya didasarkan pada hasil pembahasan internal Komisi E DPRD DKI, yang hanya ditandatangani oleh pimpinan Komisi E DPRD DKI," tulis BPK di halaman 214 draf tersebut.
"Seharusnya, temuan itu bisa jadi petunjuk bagi Bareskrim untuk menjerat pimpinan Komisi E DPRD DKI periode saat itu. Di temuan itu kan sudah dinyatakan tanda tangannya dari mereka," kata Febri kepada Kompas.com, Selasa (18/8/2015).
Febri menyayangkan apabila temuan tersebut tidak dijadikan pertimbangan bagi Bareskrim. Bila demikian, Febri menilai asumsi yang menyatakan polisi tak bertaring dalam penanganan kasus korupsi makin benar adanya.
Secara khusus, ia mengkritik penanganan kasus tersebut yang belum ada perkembangan signifikan. "Sekarang ini saja penyidikan yang dilakukan oleh Bareskrim menimbulkan tanda tanya, kok tidak ada perkembangan. Masa tersangkanya cuma dari eksekutif saja. Buwas (Kepala Bareskrim Komjen Budi Waseso) itu harus berani tegas sama koruptor, jangan beraninya cuma sama aktivis antikorupsi," ujar Febri.
Berdasarkan draf laporan hasil pemeriksaan (LHP) terhadap laporan keuangan Provinsi DKI Jakarta tahun 2014, BPK menyatakan pengadaan UPS tidak tercantum dalam rencana kerja dan anggaran (RKA) eksekutif, baik di BPAD maupun di masing-masing suku dinas, Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Barat dan Jakarta Pusat.
"Penambahan kegiatan pengadaan UPS pada anggaran BPAD dan anggaran masing-masing suku dinas hanya didasarkan pada hasil pembahasan internal Komisi E DPRD DKI, yang hanya ditandatangani oleh pimpinan Komisi E DPRD DKI," tulis BPK di halaman 214 draf tersebut.
Solusi :
Seharusnya
suku dinas menyadari Dana Siluman dengan melihat dari
data laporan keuangan yang tidak wajar dengan APDB yang harus dikeluarkan
sebesar itu hanya untuk penyediaan UPS ke sekolah-sekolah. Seorang akuntan public
di suku dinas harus bertindak secara professional terkait adanya keganjalan
dalam laporan keuangan suku dinas, sebagai seorang akuntan public telah
melanggar etika profesi dan tidak mengikuti undang-undang yang berlaku.
Komentar
Posting Komentar